Jangan Hanya Takut! Tapi Perbanyaklah Berharap kepada Allah!

Jangan Hanya Takut! Tapi Perbanyaklah Berharap kepada Allah!


Hati seorang hamba itu memiliki dua sayap yang mampu mengantarkannya menuju posisi yang dekat dengan Allah Swt. Kedua sayap yang dimaksud ialah perasaan penuh harap yang biasa disebut dengan al-raja’, serta rasa khawatair atau takut yang biasa disebut dengan al-khauf. Apabila kekhawatiran dan ketakutan lebih dominan daripada harapan, mungkin kesedihanlah yang akan menyelimuti hatinya. Sedangkan jika harapan lebih dominan ketimbang kekhawatiran dan ketakutan, maka tampaklah suasana kebahagiaan.

Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, membeberkan bahwa sebuah amal atau ibadah yang diikuti dengan perasaan penuh harap itu lebih unggul dan lebih utama ketimbang ibadah yang hanya diikuti dengan rasa takut dan khawatir. Adapun alasan dari yang beliau kemukakan ialah karena hamba yang paling dekat dengan Allah ialah mereka yang paling memiliki kecintaan kepada Allah Swt. Sedangkan rasa cinta itu lebih dominan bersemayam pada hati seseorang yang memiliki harapan, daripada hati orang yang hanya memiliki rasa khawatir atau bahkan penuh ketakutan.

Baik perasaan penuh harap maupun rasa khawatir memang seakan berlawanan. Akan tetapi jika diperhatikan kembali, ketika seseorang diberi apa yang ia harapkan, maka otomatis ia juga dijaga dari apa yang dikhawatirkan. Hal ini selaras dengan hadis Nabi Muhammad:

مَا اجْتَمَعَا فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي هَذَا الـمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ مَا رَجَا وَأَمَّنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Tidaklah berkumpul keduanya (raja’ dan khauf) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seprti ini kecuali Allah memberinya apa yang diharapkan dan mengamankannya dari apa yang ia khawatikan.” (H.R. Ibnu Majah)

Harapan atas rahmat Allah memang perlu ditanam dan dipupuk dalam hati seorang hamba. Karena dengan harapan itulah, seorang hamba bisa jadi didekatkan dengan apa yang ia senangi, juga dijauhkan dari apa yang ia hindari. Kita ambil saja contoh dari hadis Nabi Muhammad Saw., yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, tentang kisah dua orang penghuni neraka.

Sesungguhnya ada seseorang berada di dalam neraka dan telah menetap selama seribu tahun, ia memanggil-manggil, “Ya Hannan! Ya Mannan!” Allah menyeru kepada Malaikat Jibril, “Pergilah! Dan bawalah hamba-Ku (yang memanggil itu)!” Malaikat Jibril pun datang dengan membawa hamba-Nya, dan mempertemukannya dengan Tuhannya. Allah bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang tempatmu?” Ia menjawab: “Seburuk-buruk tempat.” Allah berfirman, “Kembalikan ia ke tempatnya!” Lantas ia berpaling ke belakang Malaikat Jibril, Allah pun kembali menyeru, “Mengapa engkau berpaling!” Lelaki itu menjawab, “Sungguh aku berharap Engkau tak mengembalikanku ke sana (neraka), setelah Engkau mengeluarkanku darinya.” Kemudian Allah berkata kepada Jibril, “Pergilah dengan membawanya ke surga!” (H.R. Al-Baihaqi)

Terkait mana yang perlu lebih diunggulkan, apakah harapan atau rasa takut, keduanya tentu sama-sama penting. Tetapi perlu diingat bahwa, akan menjadi semakin berbahaya manakala seseorang merasa banyak dosa dan hanya ingat dosa-dosanya, hingga menjadikannya takut akan siksa Allah dan putus asa atas ampunan Allah Swt. Menanggapi orang yang hampir putus asa seperti demikian, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:

يَا هَذَا يَأْسُكَ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ أَعْظَمُ مِنْ ذُنُوْبِكَ

“Wahai orang ini, putus asamu dari rahmat Allah itu lebih besar ketimbang dosa-dosamu.”

Selain itu juga terdapat sebuah cerita yang dialami oleh Abul ‘Abbas bin Suraij, ketika beliau sedang sakit. Sebelum ajal menjemput, beliau melihat seakan-akan kiamat segera terjadi tak lama lagi. Dalam kedaan tersebut, terdengar seutas pertanyaan dari Allah yang ditujukan kepadanya, “Di manakah golongan ulama?” Lantas Abul ‘Abbas menjawab, “Mereka telah datang.”

Para hamba-Nya yang disebut dengan ulama itu pun ditanya, “Apa yang telah kalian amalkan dari ilmu yang telah kalian ketahui?”  Abul ‘Abbas menuturkan bahwa terdapat jawaban dari salah seorang kumpulan ulama tadi, “Kami menjawab: Wahai Tuhan kami, langkah kami terbatas, kami telah berbuat keburukan.” Mendengar jawaban tersebut, kemudian diulang pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan sebelumnya, seakan-akan Allah tidak rida dengan jawaban yang baru saja didapat dan menginginkan jawaban lain.

Abul ‘Abbas melanjutkan ceritanya dan berkata, “Adapun jawabanku terhadap pertanyaan tersebut ialah: Tidak ada kesyirikan dalam catatan hidupku, Engkau pun berjanji bahwa akan mengampuni segala dosa di bawah dosa syirik.” Kemudian Allah berseru kepada kumpulan ulama tadi, “Pergilah kalian semua, Aku telah mengampuni kalian!” Tiga hari setelah kejadian tersebut, Abul ‘Abbas bin Suraij akhirnya mengembuskan napas terakhirnya untuk menghadap kepada Dzat Yang Maha Memberi Harapan.

Wallahu a'lam bish shawab.

Ditulis oleh:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel