Permasalahan dalam Pendidikan Inklusif di Indonesia
Selasa, 06 September 2022
Salah satu isu strategis yang merupakan bagian dari upaya penyelesaian permasalahan sosial dalam ruang lingkup pendidikan ialah terkait pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Pendidikan inklusif sendiri dapat didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang bertujuan untuk memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas supaya dapat mengenyam pendidikan di sekolah umum dan di kelas reguler bersama dengan teman seusianya. Adapun manfaatnya ialah supaya peserta didik penyandang disabilitas dapat bersama dengan peserta didik non-difabel dan memperhatikan aspek akses yang mendukung semuanya.
Kebijakan tersebut tentu merupakan terobosan yang sangat bagus untuk mengatasi isu kesenjangan sosial yang sering dirasakan oleh para penyandang disabilitas. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua lembaga pendidikan di berbagai jenjang mampu dan/atau antusias menyambut terobosan tersebut. Karena memang tidak semua sekolah–termasuk sekolah negeri–bergegas mengadaptasi kebijakan tersebut di sekolahnya.
Pemerintah sebenarnya sudah mengusahakan dengan sungguh supaya kebijakan tersebut dapat berjalan menyeluruh. Hal tersebut terlihat dari peraturan Kemendikbudristek yang mewajibkan sekolah negeri untuk menerima peserta didik disabilitas dengan alokasi maksimal 5% dari kuota maksimal.
Sayangnya sekolah yang merasa tidak mampu untuk memberikan layanan terhadap siswa berkebutuhan khusus tetap diberikan kesempatan untuk memindahkan siiswa yang dimaksud ke sekolah yg dianggap mampu. Dengan adanya kelonggaran tersebut, maka bisa menjadi celah bagi sekolah untuk merasa tidak mampu–dan tidak perlu berusaha mampu–, demi menghindarkan diri untuk beradaptasi dengan kebijakan yang telah ditentukan.
Di samping itu, perlu diakui juga bahwa memang terdapat berbagai hambatan yang mungkin dijumpai atas pengimplementasian pendidikan inklusif di sekolah umum. Merujuk hasil penelitian Mulyana dan Restendi yang berjudul Meninjau Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif, di antara permasalahan yang dimaksud ialah, sebagai berikut:
1. Sumber daya guru atau pengajar
Menurut Sukardi, dalam bukunya berjudul Model Pendidikan Inklusi dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, disebutkan bahwa keberadaan guru kelas dan Guru Pendamping Khusus (GPK) masih terkesan kurang sensitif dan proaktif akan problem yang muncul dalam pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Selain itu juga berdasar hasil penelitian Sunarto yang telah dituangkan dalam artikelnya yang berjudul Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif, diungkapkan bahwa sebagian guru Sekolah Dasar juga merasa tidak memiliki kapasitas untuk mengajar siswa difabel dan merasa tidak kompeten untuk mengelola kelas inklusif.
2. Sinergitas pemangku kepentingan terkait
Seluruh pihak terkait sejatinya memiliki peran penting dalam rangka mensukseskan kebijakan pendidikan bagi semua, maksudnya ialah pendidikan inklusif. Karena tanpa adanya sinergitas dari pihak dinas pendidikan, dinas kesehatan, dan pihak lainnya, maka mustahil jika kebijakan pendidikan inklusif dapat berjalan mulus sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Sehingga berakibat pada tersendatnya peluang ABK untuk dikembangkan potensi yang mereka miliki.
3. Infrastuktur lembaga pendidikan
Kesempatan bagi para penyandang disabilitas atau ABK tentu tidak hanya berkaitan dengan kesempatan untuk memperoleh pengajaran yang sama semata, tetapi juga membutuhkan akses infrastuktur yang ramah bagi mereka. Oleh sebab itu, infrastruktur sebagus apa pun tetapi tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas maka tidak bisa memenuhi kebutuhan ABK. Terkait kebutuhan infrastuktur khusus tersebut, maka pemerintah memegang peranan yang cukup penting atas terlaksananya pendidikan inklusif di semua jenjang.
4. Pengenalan pendidikan inklusif
Sebuah program tidak akan bisa dikenal tanpa adanya sosialisasi dan edukasi yang baik dan menyeluruh dari pihak pembuat kebijakan maupun pihak yang melaksanakannya. Jika dikenal saja tidak, bagaimana mungkin sebuah program dapat mendapat dukungan dan berjalan dengan baik. Begitu juga halnya dengan pendidikan inklusif. Sebagaiman disampaikan oleh Mayya, dalam Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi pada Sekolah Dasar, bahwasanya kurang meratanya sosialisasi atau penyampaian informasi terkait pendidikan inklusif kepada masyarakat, maka pemahaman pun akan kurang sehingga sulit untuk mendapatkan dukungan.
5. Stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas
Adanya kewhawatiran orang tua murid menyangkut pengimplementasian pendidikan inklusif–yang menuntut diterimanya siswa ABK di sekolah umum– sehingga disinyalir bisa menghambat proses pembelajaran di sekolah memang bisa dirasa wajar. Tetapi di sisi lain, stigma tersebut tentu cukup berlebihan. Pasalnya pengimplementasian pendidikan inklusif di sekolah tentu sudah mempertimbangkan solusinya, yakni dengan mensyaratkan adanya Guru Pendamping Khusus (GPK) di kelas inklusif. Supaya stigma sebagaimana di atas dapat teratasi, maka sosialisasi dan edukasi menyengkut pendidikan inklusif memang perlu untuk diseriusi.
Ditulis Oleh: